I.
ETIKA DALAM AUDITING
Etika
dalam Auditing adalah suatu prinsip untuk melakukan proses pengumpulan
dan pengevaluasian bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai
suatu entitas ekonomi untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang
dimaksud dengan kriteria – kriteria yang dimaksud yang dilakukan oleh seorang
yang kompeten dan independen.
1. Kepercayaan publik
Etika
dalam auditing adalah suatu prinsip untuk melakukan proses pengumpulan dan pengevaluasian
bahan bukti tentang informasi yang dapat diukur mengenai suatu entitas ekonomi
untuk menentukan dan melaporkan kesesuaian informasi yang dimaksud dengan
kriteria-kriteria yang dimaksud yang dilakukan oleh seorang yang kompeten dan
independen.
Profesi akuntan memegang
peranan yang penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam
hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Kepentingan Publik
merupakan kepentingan masyarkat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.
Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam menyediakan
jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan negara.
Prinsip-prinsip
aturan perilaku profesional mengandung 7 cakupan umum :
1. Suatu pernyataan dari maksud
prinsip-prinsip tersebut.
2. Tanggung jawab
3. Kepentingan publik
4. Integritas
5. Obyektifitas dan independensi
6. Kemahiran
7. Lingkup dan sifat jasa
2. Tanggung jawab
auditor kepada publik
Profesi akuntan memegang
peranan yang penting dimasyarakat, sehingga menimbulkan ketergantungan dalam
hal tanggung-jawab akuntan terhadap kepentingan publik. Dalam kode etik
diungkapkan, akuntan tidak hanya memiliki tanggung jawab terhadap klien yang
membayarnya saja, akan tetapi memiliki tanggung jawab juga terhadap publik.
Kepentingan publik adalah kepentingan masyarakat dan institusi yang dilayani
secara keseluruhan. Publik akan mengharapkan akuntan untuk memenuhi tanggung
jawabnya dengan sebaik-baiknya serta sesuai dengan kode etik professional AKDA.
Ada 3 karakteristik dan hal-hal yang ditekankan untuk
dipertanggungjawabkan oleh auditor kepada publik, antara lain:
§ Auditor harus memposisikan diri untuk independen, berintegritas, dan
obyektif
§ Auditor harus memiliki keahlian teknik dalam profesinya.
§ Auditor harus melayani klien dengan profesional dan konsisten dengan
tanggung jawab mereka kepada publik.
3. Tanggung jawab dasar auditor
The Auditing Practice Committee, yang merupakan cikal bakal dari Auditing
Practices Board, ditahun 1980, memberikan ringkasan (summary) tanggung jawab
auditor:
§ Perencanaan, Pengendalian dan Pencatatan.
§ Sistem Akuntansi.
§ Bukti Audit.
§ Pengendalian Intern.
§ Meninjau Ulang Laporan Keuangan yang Relevan.
4. Indepensi Auditor
Independensi adalah keadaan bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh
pihak lain, tidak tergantung pada orang lain (Mulyadi dan Puradireja, 2002:
26).
Terdapat tiga aspek
independensi seorang auditor, yaitu sebagai berikut:
1. Independence
in fact (independensi dalam fakta)
Artinya auditor harus mempunyai kejujuran yang tinggi, keterkaitan yang
erat dengan objektivitas.
2. Independence in appearance (independensi
dalam penampilan)
Artinya pandangan
pihak lain terhadap diri auditor sehubungan dengan pelaksanaan audit.
3. Independence in
competence (independensi dari sudut keahliannya)
Independensi dari
sudut pandang keahlian terkait erat dengan kecakapan profesional auditor. Independensi
akuntan publik merupakan dasar utama kepercayaan masyarakat pada profesi
akuntan publik dan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk
menilai mutu jasa audit.
5. Peraturan Pasar Modal
dan Regulator Mengenai Independensi Akuntan Publik
Peraturan Pasar Modal
dan Regulator mengenai Indpedensi Akuntan Publik diatur dalam keputusan Ketua
Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-310/B1/2008 tentang
Indepensi Akuntansi yang memberikan jasa pasar modal.
Bagian khusus yang mengatur tentang indepedensi terfapat
pada lampiran mulai poin ketiga yang menyebutkan bahwa dalam memberikan jasa
profesional, khususnya dalam memberikan opini, Akuntansi wajib mempertahankan
sikap independen.
Dalam aturan tersebut, juga dinyatakan bahwa akuntan
tidak independen apabila selama periode audit dan selama periode penugasan
profesionalnya. Baik akuntan, kantor akuntan publik, maupun orang dalam kantor
akuntan publik apabila:
1. Mempunyai
kepentingan keuangan langsung atau tidak langsung yang material pada klien.
2. Mempunyai hubungan
pekerjaan dengan klien.
3. Meempunyai hubungan
usaha secara langsung atau tidak langsun yang material dengan klien.
4. Memberikan jasa
astesi selain yang sedang mendapat penguasaan dan jasa non astesi kepada klien.
5. Memberikan jasa atau
produk kepada klien dengan dasar Fee Kontinjen atau komisi, atau menerima Fee
Kontinjen atau komisi dari klien.
II. ETIKA DALAM AKUNTANSI KEUANGAN DAN AKUNTANSI
MANAJEMEN
1. Tanggung jawab akuntan publik
Tanggung jawab utama praktisi pajak adalah sistem pajak. Suatu
sistem pajak yanng baik dan kuat harus terdiri dari entitas administrasi pajak,
kongres, administrasi dan komunitas praktisi. Selain itu ketika secara umum
menyetujui bahwa praktisi pajak mempunyai kewajiban atas kemampuan, loyalitas
dan kerahasian klien, hal ini disebut juga tanggung jawab praktisi atas sistem
pajak yang baik.
Tanggung jawaqb praktisi pajak yang terakhir adalah
pentingnya pervasive (peresepan). Dalam hubungan antara praktisi dan klien yang
normal, kedua tanggung jawab dikenali dan dilaksanakan. Namun, situasi ini
sulit, dalam beberapa situasi praktisi diperlukan untuk memutuskan kewajiban
yanng berlaku dan dalam pelaksanaannya dapat disimpulkan bahwa kewajiban
atas sistem pajak yang tertinggi. Praktisi
pajak membantu dalam mengatur hukum pajak dengan jujur dan adil dalam pelayanan
dan pengembangan kepercayaan klien dalam integritas dan kepatuhan terhadap
sistem pajak.
2. Etika Akuntan Pajak
Dalam kaitannya dengan
etika akuntan pajak, AICPA mengeluarkan Statement on Responsibilities in Tax
Practice (SRTP). Adapun isinya sebagai berikut:
SRTP (Revisi 1988)
No.1: Posisi Pengembalian Pajak
SRTP (Revisi 1988) No.2:
Jawaban Pertanyaan atas Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.3:
Aspek Prosedur tertentu dalam menyiapkan Pengembalian
SRTP (Revisi 1988) No.4:
Penggunaan Estimasi
SRTP (Revisi 1988) No.5:
Keberangkatan dari suatu posisi yang sebelumnya disampaikan didalam suatu
kelanjutan administrative atau keputusan pengadilan
SRTP (Revisi 1988) No.6:
Pengetahuan Kesalahan: Persiapan Kembalian
SRTP (Revisi 1988) No.7:
Pengetahuan Kesalahan: Cara Kerja administrasi
SRTP (Revisi 1988) No.8:
Format dan isi nasihat pada klien
3. Kompleksitas Aturan Perpajakan Vs Tuntutan
Klien
Pajak secara klasik
memiliki dua fungsi. Pertama, fungsi bugeter. Kedua, fungsi reguleren.
Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 23 ayat 2, disebutkan bahwa
“segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dari hal
tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki fungsi yang luas antara lain
sebagai sumber pendapatan negara yang utama, pengatur kegiatan ekonomi,
pemerataan pendapatan masyarakat, dan sebagai sarana stabilisasi ekonomi. Kalau
kita lihat APBN, pajak selalu dituntut untuk bertambah dan bertambah.
Pemerintah harus
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara. Dalam struktur anggaran
negara, seperti halnya negara kita bisa mencapai 75% diperoleh dari pajak.
Kondisi inilah yang memicu pemerintah untuk membuat aturan-aturan perpajakan.
Aturan perpajakan merupakan masalah yang sebaiknya menjadi prioritas bagi
pemerintah supaya tidak terjadi tax avoidance. Berikut ini beberapa kasus yang
mencerminkan kompleksitas aturan perpajakan vs tuntutan klien :
·
Pajak
Ganda pada Dividen
Secara teori
Indonesiamenganut klasikal sistem. Artinya, ada pembedaan subyek pajak. Yaitu
subyek pajak badan dan subjek pajak perseorangan. Yang bermasalah dalam pajak
dividen adalah terjadi economic double taxation.
Pengertiannya, sebelum dividen dibagi kepada pengusaha, laba tersebut merupakan
laba perusahaan yang dikenakan pajak, atau disebut pajak korporat. Namun,
ketika dibagi lagi kepada pemegang saham di korporat, pemegang saham itu harus
dikenakan pajak lagi. Inilah yang disebut sebagai pajak ganda. Sebagai
perbandingan,Malaysia dan Singapura tidak lagi menggunakan pajak atas dividen.
Mereka menggunakan kredit sistem. Yakni, pajak yang bisa dikreditkan kepada
para pemegang saham di korporat. Sehingga, korporat hanya dimaknai sebagai
sarana. Subyek pajak tetap melekat pada pribadi. Tak ada lagi pajak ganda yang
membebani.
·
Sengketa
Pajak
Kalau terjadi dispute, yakni hitungan
wajib pajak (WP) dengan petugas pajak berbeda. Pada UU KUP 2000 kewenangan
aparat fiscus terlalu luas. Jika terjadi sengketa SPT, maka apapun yang akan
dipakai adalah hitungan aparat pajak, dan hitungan itu harus dibayar lebih
dahulu oleh WP sebesar 50 persen dari hitungan petugas pajak sebelum bisa
dibawa kepada pengadilan pajak. Kalau hitungan WP yang dinyatakan pengadilan
benar maka WP berhak menerima restitusi. Namun, uang restitusi itu kenyataannya
tidak segera dibayarkan oleh fiscus.
Jika uang restitusi
jumlahnya milyaran jelas saja mengganggu cash flow para
pengusaha. Inilah persoalan dalam dispute antara WP dengan aparat pajak.
Untungnya, dalam UU KUP 28/2007 perhitungan SPT ditentukan secara bersama-sama.
Jika ada perbedaan klaim angka, maka yang lebih dahulu dipakai adalah klaim WP.
Sebelum masuk ke pengadilan pajak, WP hanya cukup membayar sebesar 50 persen
dari klaim hitungan WP sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Sungguh, A (2004). Etika Profesi Jakarta : Sinar Grafika
Ludigdo, U (2007). Paradoks Etika Akuntan. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar.
Keputusan Ketua Badan
Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Nomor: Kep-310/B1/2008 Tentang
Indepedensi Akuntansi yang Memberikan Jasa di Pasar Modal